Karena kepopulerannya lewat film Hollywood Finding Nemo, menjadikan ikan nemo merupakan salah satu komoditas bernilai ekonomi tinggi. Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak beberapa tahun terakhir terus mengembangkan ikan lucu itu.
Sebelum film Finding Nemo terkenal, ikan itu dinamai ikan giru atau ikan badut (clown fish) yang termasuk anak suku Amphiprioninae dalam suku Pomacentridae. Ikan giru terdiri dari 28 spesies yang bisa dikenali, sebagian besar dalam genus Premnas. Sementara sisanya, masuk dalam genus Amphiprion.
Ikan hias ini berasal dari lautan Pasifik, Laut Merah, lautan India, dan karang besar Australia (great barrier reef). Di habitat asli, ikan giru dikenali berwarna memikat, seperti kuning terang, oranye, jingga, kemerahan, hingga kehitaman. Ukurannya dari 6 cm sampai maksimal 18 cm.
Karena permintaan ekspor yang tinggi, KKP melakukan inovasi teknologi untuk ikan giru dengan melakukan diverfisikasi produk komoditas, yaitu dikembangkan sampai 14 jenis ikan badut.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto mengatakan, introdusir varian dan corak ikan hias itu berdampak positif bagi geliat bisnis ikan hias nasional. Ini terkait preferensi konsumen ikan hias yang sangat bergantung pada nilai estetika dari jenis ikan hias tersebut.
Dengan bertambahnya varian jenis ikan giru dari Indonesia, membuka peluang besar untuk bersaing dalam bisnis perdagangan ikan hias di tingkat dunia.
“Kalau bicara SDA (sumber daya alam) dan potensi ikan hias Indonesia, kita punya daya saing komparatif yang tinggi, ini harus kita manfaatkan untuk tingkatkan daya saing kompetitif di level global,” ucapnya belum lama ini di Jakarta.
Teknologi Rekayasa
Keberhasilan mengembangkan 14 varian baru, tak lepas dari kerja keras Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon yang melaksanaan metode perekayasaan dengan teknik kawin silang (cross breeding) dari berbagai jenis induk dari alam sampai menghasilkan ragam corak ikan yang indah dan diminati pasar.
“Yang menjadi unik, masing-masing varian memiliki tingkatan nilai jual sendiri-sendiri, sesuai dengan permintaan pasar,” tutur Slamet.
Sedangkan Kepala BPBL Ambon Tinggal Hermawan menjelaskan pengembangan ikan hias yang mereka lakukan didasarkan pada tren preferensi pasar sekarang. BPBL Ambon sendiri mempunyai koleksi berbagai jenis induk dan calon induk dari berbagai lokasi yang memiliki kekhasan masing-masing, untuk dikawinsilangkan
Adapun, 14 varian yang berhasil dikembangkan itu, adalah jenis biak biasa, halfblack, fullblack, black proton, platinum, picasso, snow flake, frosebite, black ice, lightening maroon, black snowflake, balong padang, pellet orange dan pellet pink. Dari 14 varian itu, sembilan varian memiliki segmen pasar sendiri dengan nilai jual yang beragam.
“Yang nilai jualnya paling rendah yakni jenis pellet orange dan pellet pink dengan harga Rp8.000 per ekor, sedang yang paling mahal dapat mencapai kisaran Rp500 ribu – Rp1 juta/ekor yakni untuk jenis lightening maroon,” papar dia.
BPBL Ambon juga sukses merekayasa sistem pembesaran, dengan menerapkan sistem resirkulasi tertutup untuk menggenjot produksi komoditas ikan seperti ikan giru. Melalui resirkulasi, pengembangan melibatkan protein skimer, filter biologis dan azonisasi.
“Ini mampu mempertahankan kualitas air dengan baik, sehingga tingkat kelulushidupannya tinggi yakni mencapai lebih dari 80 persen. Kelebihan lainnya adalah budidaya sistem ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan terbatas,” jelas Kepala Seksi Uji Terap Teknik BPBL Ambon, Robianta.
Menurut dia, teknologi resirkulasi sangat efisien karena kualitas air bisa dijaga walaupun selama 1 tahun tanpa ganti air secara total. Kemudian, dapat dikembangkan di lahan terbatas skala backyard atau halaman belakang rumah. Dengan memanfaatkan kotak berbahan plastik ukuran 1 m x 0,5 m dapat ditebar benih hingga 200 ekor. “Satu unit skala backyard ini biasanya terdiri dari 5 kotak,” ungkap dia.
Secara ekonomi usaha, penerapan teknologi ini cukup menjanjikan. Dengan modal investasi 1 unit sebesar Rp5 juta, rata-rata keuntungan bersih yang diraup sebesar Rp10 juta per 6 bulan. Inilah yang memicu masyarakat mulai tertarik untuk berusaha.
Salah seorang penggiat ikan hias, Doni, saat ditemui di Ambon mengatakan bahwa selama menggeluti ikan hias, ia mengakui bahwa pasar ikan nemo lebih stabil begitupun dengan harga pasar.
“Keberhasilan BPBL Ambon dalam mengintroduksi berbagai varian jenis ikan nemo hasil budidaya, membawa angin segar bagi bisnis ikan hias nasional. Sebagai gambaran saja perputaran uang dari bisnis ikan hias di Ambon mencapai tidak kurang dari Rp1 miliar per tahun,” tutur dia.
0 Komentar